Beban yang tak pernah terlihat dan terdengar

Apa bagian terberat dan paling menantang dari menerapkan pakaian muslimah yang syar’i?

Bagiku, bukan pada harga gamis, khimar, dan cadarnya. Bukan pula pada susahnya mobilitas sehari-hari karena menggunakan potongan kain nan lebar dan panjang. Tapi, beban itu terletak pada stigma.

Setiap saat keluar kerumah mengenakan pakaian sesuai aturan yang Allah tetapkan, artinya juga membawa tanggungjawab besar dalam menerapkan syiar’-syiar agama Allah. Aku tak bisa mengelakkan diri dari anggapan dan persepsi masyarakat bahwa yang mengenakan pakaian seperti itu adalah ustadzah dan orang-orang shalih. Sebuah persepsi yang tidak adil.

Aku yakin pembaca sudah tau, kewajiban menggunakan hijab sesuai syariat adalah untuk semua muslimah, walau seorang pendosa sekalipun. Karena se-shalihah apapun kita tetaplah manusia yang tak lepas dari perbuatan salah dan dosa. Bagian yang menyedihkannya adalah ketika masyarakat mulai beranggapan orang dengan pakaian ini kelakuannya seperti ini dan ini. Terus tersebar hingga menjadi stigma.

Aku jadi ingin cerita salah satu pengalaman tidak mengenakkan mendapat stigma buruk. Kala itu, hari masih siang menjelang sore saat aku makan bersama teman-teman kuliah disalah satu pondok bakso daerah Tunggul Hitam, Kota Padang. Secara mengejutkan, seorang perempuan dari meja di belakangku berkata dengan suara yang cukup keras, katanya, “Orang yang pake jilbab besar kayak gini tuh bau tau ngga. Gue pernah waktu itu di Pekanbaru…” daaan seterusnya melanjutkan ocehannya. Sebenarnya dia bicara dalam Bahasa Minang, kalau diterjemahkan kurang lebih begitu. Aku hanya bisa diam dan mengerutkan dahi. Semangkuk mie ayam yang terhidang tidak lagi membuatku berselera untuk makan. Aku akan bilang bahwa memang ada diantara muslimah berhijab syar’i yang bau badannya menyengat karena tidak pakai deodoran, atau bisa jadi juga karena tidak peduli. Menggunakan parfum saat keluar rumah memang dilarang agama, tapi bukan berarti boleh bau badan. Sayang sekali, seharusnya dia duduk disampingku saja dan akan ku persilahkan perempuan itu untuk menghidu bau seperti apa yang tercium.

Tentang stigma-stigma itu, imbasnya pada kehidupan pribadiku, aku jadi terlalu banyak memikirkan bagaimana kata orang. Aku pernah melewati masa-masa bingung sendiri memilih warna pakaian selain hitam hanya demi tidak dicap ekstrim, dikira teroris, sok arab, sok alim, berlebihan, membosankan, dan entah apa lagi yang orang-orang anggap. Hingga tiba masanya aku menjadi lelah sendiri, tidak lagi mau berkecimpung dalam dunia segala warna.

Stigma-stigma seperti ‘orangnya pasti kaku’, cuek, mengeksklusifkan diri, dan hanya mau berteman dengan orang-orang dari kelompoknya. Padahal, bisa jadi semua itu hanya ada dipikiranku saja. Tapi pada kenyataannya aku bersikap sebaliknya, berusaha terlalu keras untuk menghindari stigma-stigma itu agar tidak menempel pada diriku. Aku terlalu memaksakan diri untuk outgoing dengan orang-orang, bersikap seolah aku adalah gadis yang ceria. Tujuannya hanya satu, agar disenangi orang-orang.

Tak ada yang melihat kerasnya usahaku untuk itu. Tak juga ada yang mendengar jerit hati yang meminta untuk berhenti. Karena yang akan orang-orang lihat adalah pada  apa yang aku perbuat. Bagaimana stigma-stigma itu akan muncul adalah dari kesalahan yang akan ku perbuat.

Sulit sekali rasanya menjelaskan beban hati yang satu ini. Hidup dilingkupi perasaan bersalah, khawatir berbuat ini dan itu. Aku khawatir melakukan kesalahan yang membuat masyarakat akan beranggapan buruk pada saudari-saudari muslimah yang lain. Tidak adil saat orang lain mendapat imbas atas kesalahan yang ku perbuat.

Source: Pinterest
           Aku merasa seolah kehilangan jati diri. Aku bingung, karena yang aku lakukan bukanlah apa yang aku inginkan, bukanlah aku yang biasanya. Perasaan yang akhirnya memaksaku untuk kembali pada aku yang sesungguhnya. Iya, aku yang introvert. Aku yang lebih suka sendiri, aku yang banyak diam dan hanya mengamati.

Pasang-surut emosi yang ku hadapi sekitar 2 tahun lebih itu menghantarkanku pada penemuan jati diri. Mempelajari dan mengenal diri sendiri lebih dalam. Salah satu cara yang ku coba adalah tes kepribadian 16 personalities. Hasilnya, aku adalah seorang INTJ. Iya, tes kepribadian semacam ini memang tak sepenuhnya akurat dan diakui oleh psikolog. Tapi lewat cara ini, aku jadi mengetahui alasan-alasan dibalik sikap dan perasaan yang sebelumnya aku tak pahami. Aku jadi banyak belajar tentang bagaimana aku bisa bersosialisasi dengan caraku, tanpa harus melupakan jati diri hanya untuk disenangi orang lain.

Aku juga belajar bagaimana menerima kekurangan diri dan mencintai diri sendiri. Juga, aku bisa menyimpulkan bahwa bagian terpenting dari berbuat kesalahan adalah pelajaran yang bisa diambil. Kesalahan akan terus menjadi aib saat Ia tidak dijadikan sebagai ajang memperbaiki diri. Aku juga percaya, bahwa manusia tanpa berbuat kesalahan, tak akan ada yang namanya perubahan.

Wallahu a’lam bisshowaab.

Padang, 2024

Talitha


Comments

More