Selesai Dulu Dengan Diri Sendiri
Kapan terakhir kali kamu pernah merasa bersalah atas perlakuan orang lain yang kurang mengenakkan? Perlakuan yang kadang membuatmu jadi over introspeksi diri ‘aku salah dimana ya?’ ‘kenapa dia kayak gitu ya sama aku?’ ‘kok dia kasar gitu sih’. Kadang malah bikin overthinking. Padahal, sebenarnya bisa jadi perlakuan buruk orang lain kepadamu bukan disebabkan kamu harus berbuat salah dulu. Justru, mereka adalah orang-orang yang sebenarnya belum selesai dengan diri mereka sendiri. Problematik, if i could say.
Pernah juga ga sih, berada di sekitar orang yang
walaupun kamu ga ada interaksi sama mereka tapi kehadiran mereka aja tuh rasanya
udah ada aura negatifnya, hawa-hawa yang bikin ga nyaman.
“Tapi
kan belum tentu itu karena mereka belum selesai sama diri mereka sendiri, bisa aja
itu habit mereka, atau bisa aja kamu yang insecure di sekitar mereka alias iri”.
Ga, stop normalisasi kata-kata kasar,
attitude buruk, ga menghargai orang lain, dan pick-me (yang
biasanya diikuti dengan sikap merendahkan orang lain untuk meninggikan diri
sendiri).
Aku berani bilang ini karena aku pernah diposisi menjadi
orang yang judes, songong (dikit), dingin, ga peduli perasaan orang lain. Selama
itu, aku sebenarnya bingung sama diri sendiri. Aku merasa kurang, aku merasa ga
cukup, aku ga percaya diri. Buntut itu semua karena aku belum mengenal diri sendiri.
Tidak mengenal diri sendiri sama dengan buta akan masalah yang ada dalam diri. Masalah
yang seharusnya ditemukan solusinya, luka yang seharusnya disembuhkan, trauma
yang harusnya dilatih agar pulih, insecurity yang seharusnya tidak di tutupi
dengan sikap-sikap buruk dan arogansi agar terlihat baik-baik saja dan sempurna.
Padahal jauh di dalam diri, ada lubang tak berujung dan hujan tanda tanya yang
terus diabaikan dan selalu mengincar validasi eksternal agar merasa diri ini ‘ada’
di dunia.
Kamu lihat kan? Bagaimana pemahaman akan diri
sendiri sangat mempengaruhi sikapmu di luar.
Kadang, sikap buruk orang lain itu ga selalu dalam bentuk
toxic. Dia bisa jadi adalah orang terdekatmu, sahabatmu, hanya saja
problematik. Orang-orang toxic kita udah pada tau ga akan mau deket-deket
sama mereka apalagi dijadikan teman. Tapi problematik seringkali samar terlihat
karna dibalut dalam pertemanan yang didalamnya sering kali ‘membenarkan’ perilaku-perilaku
yang sebenarnya kita tau itu salah.
Sometimes we outgrow people who aren’t growing.
- said a Pinterest quote
Bagi seseorang yang terus bertumbuh dengan segala kekurangan
yang ada dalam dirinya, berada disekitar orang-orang yang menolak untuk
bertumbuh akan sangat kentara rasanya. Sangat mudah dibedakan.
Tapi, kenapa keliatannya orang-orang sangat nyaman dengan
hal-hal yang belum selesai dengan dirinya?
Kenyataan
bagaimana sosial media saat ini sangat terbuka untuk menyampaikan perasaan,
ditambah repost kutipan yang relatable dengan diri sendiri. Saranku
segeralah kurangi dan berhentilah untuk memberi makan masalahmu dengan kutipan-kutipan
relatable itu. Itu menghalangimu untuk tumbuh, menjedamu untuk sembuh
dari luka.
Cara
kerja kutipan-kutipan itu membuatmu merasa divalidasi tentang perasaan-perasaanmu,
terlepas dari benar atau salahnya. Tapi ketika kamu menyirami diri dengan semua
kutipan itu setiap hari, lama-lama kamu akan merasa benar sendiri, kamu merasa
ini bukan masalah, kamu mulai merasa ini normal. Lambat laun kutipan itu jadi blind
spot diri kamu sendiri. Tanpa sadar kamu menolak untuk memperbaiki diri.
Jawaban
untuk sikap-sikap yang kamu tidak mengerti mengapa ada dalam dirimu, sebenarnya
ada di masa lalu. Namanya cetak biru, terbentuk jauh sebelum kamu pandai berbicara
hari ini. Tercipta sejak kamu masih dalam kandungan, dibentuk seiring kamu tumbuh
dewasa. Disini pangkal masalahnya adalah keluarga. Tidak perlu jauh-jauh ‘aku
gini karna si A, si B’. Penyebab hari ini, ada di masa lalu.
Biar
aku jelaskan, mengutip dari buku Cetak Biru Cinta karya Zahwa Islami,
dijelaskan sebuah istilah bernama Internal Working Model (IWM), yaitu
sebuah rekonstruksi memori yang dipengaruhi banyak faktor kehidupan, seperti
pengalaman relasi dalam keluarga, kepribadian, serta kepuasan akan kehidupan.
IWM ini seperti cetak biru yang terbentuk dari memori pengalaman seseorang yang
menjadi dasar bagaimana seseorang akan mengartikan keberadaan dirinya,
ekspektasi, serta perhatiannya terhadap orang sekitar.
Ada
pula yang disebut kelekatan, ikatan emosional antara bayi dan pengasuh (yaitu
ibu). Kelekatan ini ada kategorinya juga dilihat dari bagaimana seseorang
memandang dirinya dan padangannya terhadap orang lain baik dari sisi negatif
atau positifnya. Ada kelekatan secure (aman) dan kelekatan insecure (tidak
aman) yang didalamnya terdiri dari avoidant (menghindar) dan anxious (pencemas).
Setelah membaca buku ini, kelak kamu akan mengerti akar masalahnya dimana. Dan untuk jadi orang yang selesai dengan diri sendiri, kamu harus mau berhenti sejenak dan melihat diri. Berani untuk membuka luka yang selama ini kamu tutupi dengan sikap-sikap itu.
Klik di sini untuk baca review-ku.
Selama aku belajar tentang diri sendiri, dan itu memakan waktu yang lama sekali. Aku teringat dengan seorang teman yang pernah dekat sekali sejak SMP, baru saja tahun lalu ghosting. Menghilang tanpa alasan jelas dan tidak juga mengabari apa-apa. Beberapa tahun sebelum itu, dia juga pernah ghosting. Dan polanya selalu sama. Setiap ada yang berubah dalam hidupnya, dia selalu menghilang, menghilang dari orang-orang ia kenal saat dia belum berubah, meninggalkan masalah yang belum dia selesaikan. Makanya sikap ini ada karna dia memang belum selesai dengan dirinya.
Sikap ghosting ternyata memberi impact yang buruk buat yang mengalaminya. Aku sibuk merasa bersalah, aku merasa bukan teman yang baik, aku merasa buruk banget deh pokoknya.
Akhir-akhir
ini aku sadar, mengetahui perubahannya ke arah yang lebih negatif, ternyata
selama aku berteman dengannya aku memang ga dapat apa-apa. Aku bertumbuh sendiri,
sementara dia begitu nyaman dengan keadaan yang stagnan.
Makanya,
‘sometimes we outgrow people who aren’t growing’
adalah kalimat yang tepat untuk menjelaskan
keadaan saat itu. Sekarang, masanya sudah berlalu, awalnya aku menyesali sikap ghostingnya,
sekarang aku jadi sangat bersyukur setelah memahaminya.
Terimakasih
untuk orang-orang yang sudah jadi inspirasiku untuk menulis ini. Dan terimakasih
secara khusus untuk seseorang lainnya. Aku pikir aku harus melenyapkan
semuanya, ternyata mengabadikanmu dalam dua postingan di blog-ku tidak buruk
juga. Ajaibnya, justru karna kamu menghilang, aku jadi banyak belajar. Begitulah
seseorang yang masanya sudah lewat dihidup kita, dia persis seperti namanya, الماء,
yang dalam bahasa Arab artinya air. Terus mengalir, mengikuti bentuk cetakan
yang dilewatinya, if you know what i meant.

Comments
Post a Comment